Media Sosial lahir pada akhir abad ke-19, dimana kala itu bermula ketika seorang ilmuan bernama Samuel Morse pada 1844 mengirimkan pesan singkat lewat teknologi telegraf. Namun, telegraf tidak mampu dikatakan terminology tempat sosial lantaran tidak berbasis internet.

Baru pada tahun 70-an, aktivitas berkirim surat elektronik (email) bersama sistem buletin mulai terjadi. semua itu dilakukan masih bersama saluran telpon yang mengakses bersama modem, namaun masih belum berbasis online.

Kemunculan tempat sosial itu sendiri baru kelihatan di tahun 1995, ketika itu internet mulai merambah dunia yang ditandai dari lahirnya web Geocities. Site Geocities merupakan tonggak lahirnya berjuta juta web lain di dunia online. Site ini bergerak di dalam usaha sewa hosting untuk menyimpan data-data di dunia online untuk mampu dibuka oleh banyak orang bersama internet.

dunia sosial online terus mengalami perkembangan. Di tahun 1997 hingga 1999 terciptalah tempat sosial komunitas pertama bersama nama sixdegree dan classmates. Cakupan sosial tempat ini masih terkesan mengkhusus untuk group dan obyek tertentu. Dunia online terus berkembang hingga lahirlah friendster (2002) yang memadai populer bersama cakupan pengguna yang lebih luas.

Semakin meningkatnya kebolehan intelektual dan inovasi pertumbuhan teknologi, membentuk fenomena era digital. Berbagai sosial tempat lahir dan bertumbuh subur dan berhasil membuat perubahan model hidup kekinian, sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, YouTube, WhatsApp, Myspace, Linkedln, Wiser, Google+, dan sebagainya masih banyak lagi.

Peradaban Masa Depan

Ketua Ikatan Alumni (Iluni) Sejarah Universitas Indonesia Patria Gintings mengatakan, tempat sosial bakal menukar daun lontar, prasasti hingga piramida sebagai sumber histori peradaban pada era yang bakal datang. Hal itu berlangsung akibat perubahan peradaban yang memadai radikal dari analog ke digital.

“Jika dahulu orang mencatat momen hidupnya di dalam buku harian. Sekarang hampir seutuhnya dilakukan di tempat sosial. Orang bercerita, mengeluh, mengungkapkan pendapatnya, mengabadikan momen-momen hidupnya di tempat sosial.

Dahulu kala, kata Patria, jejak peradaban kuno dunia ribuan tahun selanjutnya mampu diketahui berdasarkan hasil penelusuran dan penelitian lewat medium prasasti, lembar lontar hingga piramida. Begitu pun di Indonesia. Bangsa Indonesia, lanjut Patria, mampu mempelajari rekam jejak tokoh-tokoh seperti Kartini dan Soe Hok Gie lewat catatan harian yang ditulis di buku.

“Namun, saat ini orang lebih banyak kirim e-mail, lebih banyak nge-tweet, lebih banyak nulis di blognya. Jadi harus mulai dipikirkan cara menyelamatkan semua sumber itu, kecuali kita menginginkan generasi era depan Indonesia belajar perihal Kartini-kartini digital atau Soe Hok Gie-Soe Hok Gie digital,” kata Patria.

Pada era mendatang nantinya peradaban kita yang jadi digital harus dipelajari dari blog, vlog, postingan di medsos, chatting di WA. Suatu hari nanti, seutuhnya itu bakal menjadi sumber histori yang harus dicari, dianalisa, dan dituliskan oleh para peneliti sejarah,” ujar Patria seraya menambahkan pengguna aktif tempat sosial di Indonesia diperkirakan capai 130 juta berdasarkan penelitian We Are Social & Hootsuite tahun 2018.

Oleh sebab itu, Patria mendorong praktisi lintas zaman di Indonesia mampu bertemu untuk mengkaji bagaimana jejak peradaban digital terdokumentasikan bersama baik.

“Alangkah lebih baik kecuali kisah peradaban digital kita nanti diceritakan oleh sejarawan era depan sebagai era peradaban yang penuh kolaborasi, penuh kemajuan, penuh kreatifitas dan inovasi. Bukan peradaban yang banyak caci maki marah-marah atau hoax,” ujar Patria berharap.

Patria mengatakan, usaha-usaha untuk membangkitkan database sumber-sumber atau karya-karya histori di dalam ranah digital juga telah mulai banyak dilakukan. Seperti yang dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di tahun 2012 bersama melaksanakan pemindaian (scanning) untuk digitalisasi koleksi sejumlah besar arsip postingan tangan tertua yang dimiliki mereka.

 

Usaha ini diberi nama DASA (Digital Archive System) oleh ANRI.

Sementara itu, Sejarahwan Publik Universitas Indonesia Kresno Brahmantyo mengatakan, sumber digital pada era mendatang bakal menjadi tren bagi para sejarahwan. Oleh sebab itu, Kresno menantang para pengguna tempat sosial kala ini mempublikasikan segala perihal yang baik sebab bakal menjadi sumber histori pada era mendatang.

“Pada Tahun 2006, Time merilis majalahnya bersama konten “Person of The Year”-nya adalah “You”. Hal itu sebab internet berkembang dan banyak penggunanya yang mengunduh beragam konten perihal dirinya masing-masing. Konten itu sebabkan para penggunanya sebabkan histori perihal dirinya sendiri,” kata Kresno.

Kresno menjelaskan, negara lain telah mengembangkan fitur-fitur untuk pencarian sumber sejarah. Contohnya Australia miliki Trove, History Lab (podcast), dan State Library. Setelah itu, Amerika Serikat miliki Historypin dan Historypics (Twitter). “Lalu bagaimana bersama Indonesia di dalam mencukupi perihal tersebut?,” ujar Kresno.

Sementara itu, Kepala Kebijakan Publik Twitter Indonesia Agung Yudha mengatakan, tempat sosial menambahkan ruang kepada penggunanya untuk menggunakan fitur-fitur yang ditawarkan. Setiap tempat sosial, lanjut Agung, miliki platform dan fungsi yang berbeda.

Terkait bersama kesahihan sumber di tempat sosial, kata Agung, mampu dicermati dari latar belakang penulis dan mencocokannya bersama tulisan-tulisan yang lain. “Dalam mengutip sebuah sosial tempat ada fitur untuk yang langsung mengakses bersama pihak pengunggah, bukan bersama cara menangkap gambar lantas dilampirkan di dalam wujud publikasi lainnya tanpa menghendaki izin sebelumnya,” tutur Agung.

Meski demikian, Agung mengatakan, tempat media social agency jakarta bakal menjadi tambahan metode sebagai information sumber sejarah. “Namun bukan artinya ketika di era digital ini, metode lama seperti buku, surat kabar, dan arsip ditinggalkan,” ujar Agung.

By Drajad